Dosa tidak memiliki eksistensi yang
independen. Dalam hal ini kita perlu pertama-tama
menyebutkan pandangan yang dikemukakan Matthias Illyricus Flacius, seorang
teolog Jerman yang hidup pada tahun 1520-1575. Flacius mengklaim bahwa dosa
bukanlah semata-mata sebuah “aksiden” dari kondisi manusia (yaitu, sebuah
penyimpangan dari esensinya), merupakan esensi
dan substansi manusia. Pandangan
Flacius ini mengingatkan kita pada pandangan Manichaeisme, sebuah gerakan
religius dualistis pada abad ke-3 yang mengajarkan bahwa kebaikan dan kejahatan
merupakan dua prinsip kekal yang terus berjalan berdampingan, dan bahwa
kejahatan harus dikaitkan secara khusus dengan tubuh. Manusia tidak akan pernah lepas
dari dosa, karena manusia mempunyai hakekat dosa.
Menentang pandangan bahwa dosa
merupakan substansi yang terpisah, para teolog Kristen mulai dari Augustinus
telah mempertahankan bahwa dosa harus dilihat sebagai cacat yang terjadi dalam
sesuatu yang baik. Beradad-abad sebelumnya, Augstinus telah menyebut dosa privatio boni, yaitu, suatu pencabutan
atau hilangnya kebaikan. Dosa bagaikan kebutuhan yang merampas pengelihatan
orang yang sebelumnya bisa melihat. Dosa bukanlah sesuatu yang bersifat fisik
melainkan bersifat etis. Dosa tidak tercipta bersama dengan penciptaan
melainkan muncul setelah penciptaan. Dosa merupakan suatu pencatatan bentuk
dari penciptaan. Menyebut dosa privatio
boni mungkin bukan sebuah definisi yang sangat memuaskan, karena dosa lebih
dari sekedar hilangnya kebaikan, tetapi juga merupakan pemberontakan yang aktif
terhadap Allah. Meskipun demikian, definisi ini jelas mengandung kebenaran yang
penting mengenai natur dosa. Mengapa dosa merupakan suatu pencatatan
bentuk dari penciptaan, karena dosalah yang mengakibatkan manusia denagan Allah
terpisah.
Dosa
selalu berkaitan dengan Allah dan kehendak-Nya. Banyak orang menyamakan
dosa dengan ketidaksempurnaan, yaitu ketidaksempurnaan yang merupakan aspek
yang normal dari natur manusia. “Tak seorangpun yang sempurna,” “setiap orang
melakukan kesalahan,” “Kamu ‘kan hanya manusia,” dan banyak pernyataan senada menunjukkan pemikiran ini. Bertentangan
dengan ini, ita harus menyatakan dengan tegas bahwa, sesuai Alkitab, dosa
selalu merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah. Meskipun ada banyak hukum di
dalam Alkitab, khususnya di kelima kitab pertama Perjanjian Lama, apa yang
dimaksudkan dengan hukum di sini
adalah sekelompok kecil perintah yang kita akui meringkaskan apa yang Allah
inginkan dari manusia, yaitu Sepeuluh Perintah. Dosa merupakan hal yang
bertentangan dengan Allah.
Setiap orang yang berbuat dosa,
melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah (1Yoh.
3:4). Dalam Mazmur 51:6 menyatakan bahwa
semua dosa, bahkan dosa terhadap sesama, juga merupakan dosa terhadap Allah.
Daud telah begitu luar biasa berdosa terhadap Betsyeba dan Uria. Akan tetapi
ketika ia akhirnya mengakui dosanya, ia berkata kepada Allah, “Terhadap Engkau,
terhadap Engkau sajalah aku berdosa dan
melakukan apa yang kuanggap jahat.” Daud tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa
ia tidak berdosa terhadap orang lain, tetapi di dalam kedalaman pertobatannya,
ia tiba pada suatu keyakinannya bahwa semua dosa pada akhirnya merupakan dosa
terhadap Allah. Jadi, secara mendasar, dosa merupakan perlawanan terhadap
Allah, pemberontakan terhadap Allah yang berakar pada kebencian terhadap Allah.
Ketika
manusia berdosa langkah yang harus dilakukan adalah dengan mengakui dosa
tersebut terhadap Allah.
Agar bisa terpahami sepenuhnya, dosa
harus dilihat bukan hanya dalam terang hukum tetapi juga dalam terang Injil.
Injil adalah kabar baik tentang apa yang telah Kristus perbuat untuk
menyelamatkan manusia dari dosa, ini merupakan hal yang niscaya justru karena
kita telah melanggar hukum Allah. Injil tidak hanya menunjukkan kebusukan dosa
kita tetapi Injil juga memproklamirkan cara kita dilepaska dari dosa, dan oleh
karena itu menyuruh agar kita bertobat. Dosa bersumber dalam apa yang Alkitab sebut
sebagai “hati.” Augustinus sering berkata bahwa dosa bersumber dalam
kehendak manusia, “jika kehendak itu sendiri bukanlah sebab pertama dosa, maka
sama sekali tidak ada sebab pertama.”
Jadi, dengan memakai bahasa alkitabiah, Augstinus memilih untuk berkata
bahwa dosa bersumber di dalam hati. Di
sini memakai konsep hati sebagaimana dipakai di dalam Alkitab, untuk menunjuk
inti batiniah dari satu pribadi yang disebut organ, untuk berfikir, merasa dan menghendaki, atau titik pusat
dari semua fungsi kita. Dengan kata lain, dosa bukan bersumber di dalam tubuh
atau di dalam salah satu kapasitas manusia yang mana pun melainkan bersumber di
dalam pusat keberadaannya, yaitu hatinya.
Dosa
mencakup pikiran sekaligus tindakan. Menurut hukum manusia, perbuatan salah hanya
berkenan dengan apa yang seorang lakukan
atau tidak lakukan, bukan dengan apa yang seorang pikirkan, tidak seorangpun
dipenjarakan karena pikiran yang keliru keculi pikiran itu telah diungkapkan. Yesus
dengan jelas mengajarkan bahwa sekalipun
pikiran untuk berzinah belum diwujudkan, itu tetap merupakan dosa, “Tetapi Aku
berkata kepadamu, setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya,
sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:28). Tindakan baik tidak menutup
kemungkinan untuk berbuat dosa, karena meskipun kita berlaku baik tetapi sering
dibarengi dengan pikiran yang negativ.
Dosa
pada akarnay merupakan satu bentuk kesombongan. Kita dapat melihat dalam
narasi kejatuhan: si ular menimbulkan kesombongan di dalam hati Hawa ketika ia
berkata, “Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakakannya matamu akan
terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah” (Kej. 3:5). Kita juga melihat
bahwa akar dari kejatuhan para malaikat adalah kesombongan. Dosa juga bararti
menolak untuk mengakui keberuntungan total kita kepada Allah, dan keinginan
untuk mandiri. Dengan kata lain, dosa pada dasarnya adalah kepentingan diri
sendiri, menginginkan hal-hal menurut cara kita dan bukan cara Allah. Kesombongan
sudah menjadi tabit manusia, tetap hal tersebut dapat diperbaiki.
Dosa merupakan aspek yang pervasif
di dalam hidup kita, tetapi kita sering untuk tidak menyadarinya. Dalam hal
ini, terdapat tiga pengamatan penting:
1. Dosa
selalu dilakukan untuk “suatu alasan yang baik.”Hawa memakan buah terlarang
karena ia berfikir hal ini merupakan cara untuk semakin menyerupai Allah.
2. Kita
sering gagal mengenali dosa kita sendiri. Kia melihat dosa orang lain begitu
jelas, tetapi melihat dosa sendiri dengan samar-samar.
3. Kita
sering cenderung menutup-nutupi dosa kita. Kisah terkenal tentang Daud di
hadpan Nabi Natan (2Sam. 12:1-15) mengilustrasika poin ini. Sebelum
pengakuannya kepada Natan, raja yang bersalah ini menyembunyikan dosanya.
ISTILAH YANG DIPAKAI ALKITAB
UNTUK DOSA
Perjanjian
Lama menggunakan kata awon, yang
berarti ketidakadilan atau kesalahan; pesha’, pemberontakan, pergolakan,
menolak untuk tunduk kepada yang berwenang; abhar,
pelanggaran (harfiah: “menyeberang”); resha’, kefasikan atau kelaliman; ra’, kejahatan atau kefasikan; ma’al, pelanggaran atau penghianatan;
dan awen, pemberhalaan,
ketidakadilan, atau kesiasiaan.
Di
antara kata-kata Perjanjian Baru untuk dosa, yang paling umum adalah hamartia, yang merupakan padanan kata
Yunani untuk kata Ibrani chatta’th, dan yang juga bermakna “meleset dari sasaran”
atau dalam bahasa Perjanjian Baru, “kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23). Istilah
yang di pakai dalam Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama sama-sama mengandung
makna yang menjurus pada hal yang tidak baik.
BERBAGAI
JENIS DOSA
Satu
kualifikasi kuno, yang bermula dari sejarah awal monastisime Kristen, mengacu
pada apa yang disebut “tujuh dosa maut” (yang kadang disebut dosa-dosa utama).
Ketujuh dosa ini dianggap sebagai akar bagi munculnya dosa-dosa lain. Secara
tradisional, ketujuh dosa maut adalah: (1) kesombongan; (2) ketamakan; (3)
nafsu, biasanya dipahami sebgai hasrat seksual yang tak terkendali atau
terlarang; (4) iri hati; (5) kerakusan, yang biasanya mencakup kemabukan; (6) kemarahan;
dan (7) kemalasan.
Cara-cara
pengkualifikasian ini adalah: dosa-dosa terhadap Allah, sesama dan diri
sendiri; dosa-dosa pikiran, ucapan atau perbuatan; dosa-dosa yang berakar di
dalam “keinginan daging,” “keinginan mata,” atau “keangkuhan hidup” (1 Yoh.
2:16); dosa-dosa kelemahan, ketidaktahuan atau niat jahat; dosa-dosa karena
tidak melakukan yang seharusnya atau melakukan yang tidak seharusnya; dosa-dosa
tersembunyi atau dosa-dosa terbuka; dosa-dosa pribadi atau dosa-dosa umum. Dosa
tetap dosa yang tidak bisa digolongkan besar atau kecil.
TINGKATAN-TINGKATAN
DOSA
Pada
bagian yang pertama akan memerhatikan
pembedaa Katolik Roma antara dosa yang mematikan (mortal sins) dan dosa ringan (venial
sins). Pembedaan ini dibuat oleh Tertulianus Augustinus, dan kemudian
dijabarkan oleh teolog Skolastik Lombard dan Aquinas. Pembedaan ini memainkan
peran penting di dalam pemahaman Katolik Roma akan sakramen pertobatan mereka,
yang tujuannya adalah untuk mengampuni dosa-dosa yang dibuat setelah baptisan.
Calvin
menolak pembedaan atau dengan istilah tingkatan dosa, menurut Calvin semua dosa
adalah mematikan, dalam pengertian bahwa semuannya layak meerima hukuman.
Alkitab dengan jelas menolak pembedaan antara dosa yang mematikan dan yang
ringan. Mengutip Ulangan 27:26. Paulus juga berkata, “semua orang, yang hidup
dari pekerjaan hukum taurat, berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis dalam
kitab hukum taurat” (Gal. 3:10). Jika demikain, bagaimana orang bisa berkata
bahwa dosa-dosa tertentu, yaitu pelanggaran hukum Allah tertentu, tidak membawa
orang tersebut kebawah kutuk ini? Yakobus mengingatkan kita bahwa, “barangsiapa
menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari pada, ia
bersalah terhadap seluruhnya” (Yak. 2:10). “Dosa ringan” bisa menjadi
sandungan. Dosa tidak mempunyai tingkatan atau level, tetapi dosa tetaplah dosa,
dan setiap dosa pasti ada konsekuensi yang harus diterima oleh orang yang bersangkuta.
DOSA
YANG TAK TERAMPUNI
Meskipun
segala bentuk dosa tidak diperkenankan Allah, Alkitab berbicara tentang satu
dosa yang tak terampuni, bukan kerana dosa ini terlalu berat untuk diampuni
Alla, melainkan karena natur dosa ini membuatnya tidak memiliki kemungkinan
bagi pertobatan.
Pertama-tama
melihat ayat utama Alkitab yang mendeskripsikan dosa ini. Mungkin yang sering
dikutip adalah teks di Mrk. 3:28-30 (bdk. Mat. 12:31-32; Luk. 12:10). Matius
memberi tahu kita bahwa di satu kesempatan, Yesus menyembuhkan seorang buta dan
bisu di rasuki roh jahat. Ketika mendengar prihal mukjizat ini, orang-orang
Farisi menyatakan bahwa Yesus memakai Beelzebul penghulu roh jahat, untuk
mengusir roh-roh jahat. Saat menegur orang-orang Farisi ini, Yesusu berkata bahwa
ia mengusir roh-roh jahat dengan Roh Allah, sebagai bukti bahwa kerajaan Allah
telah datang kepada mereka (Mat. 12:22-28). Kemudian Yesus mengucapka kata-kata
demikian:
“Aku berkata kepadamu;
sesungguhnya semua dosa dan hujat anak-anak manusia akan diampuni, ya, semua
hujat yang mereka ucapkan. Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak
mendapat ampun selamanya, melainkan bersalah berbuat dosa kekal.” Ia berkata
demikia karena mereka kaakan bahwa Ia kerasukan roh jahat (Mrk. 3:28-30)
Kamus
Webster mendefinisikan hujat sebagai
“tindakan menghina atau memandang rendah atau tidak memiliki rasa hormat kepada
Allah.” Menurut ayat di atas, sejumlah hujatan bisa diampuni, tetapi menghujat
Roh Kudus tidak pernah bisa diampuni.
Dosa
ini digambarkan dengan istilah-istilah yang jelas. Orang yang melakukan ini
sepenuhnya membenci Kristus (“menginjak-injak Anak Allah”), menganggap najis
dan menola darah yang ditumpahkan Kristus untuk membaewanya lebih dekat kepada
Allah, menghina dan meludahi Roh Kudus yang merupakan pembawa anugerah. Maka,
kebanakan penafsir, termasuk Calvin, juga melihat kata-kata ini sebagai
gambaran akan dosa yang tidak terampuni. Bukan dosa membunuh, berzinah, atau mencuri
yang tidak diampuni, tetapi ada satu dosa yang tidak terampuni adalah dosa
menghujat Roh Kudus, karena sama saja itu menghujat Allah.