Senin, 18 Januari 2021

ANTROPOLOGY (NATUR DOSA)

Apakah yang dimaksud dengan antropologi? - Antropologi - Dictio Community

Dosa tidak memiliki eksistensi yang independen. Dalam hal ini kita perlu pertama-tama menyebutkan pandangan yang dikemukakan Matthias Illyricus Flacius, seorang teolog Jerman yang hidup pada tahun 1520-1575. Flacius mengklaim bahwa dosa bukanlah semata-mata sebuah “aksiden” dari kondisi manusia (yaitu, sebuah penyimpangan dari esensinya), merupakan esensi dan substansi manusia. Pandangan Flacius ini mengingatkan kita pada pandangan Manichaeisme, sebuah gerakan religius dualistis pada abad ke-3 yang mengajarkan bahwa kebaikan dan kejahatan merupakan dua prinsip kekal yang terus berjalan berdampingan, dan bahwa kejahatan harus dikaitkan secara khusus dengan tubuh. Manusia tidak akan pernah lepas dari dosa, karena manusia mempunyai hakekat dosa.

          Menentang pandangan bahwa dosa merupakan substansi yang terpisah, para teolog Kristen mulai dari Augustinus telah mempertahankan bahwa dosa harus dilihat sebagai cacat yang terjadi dalam sesuatu yang baik. Beradad-abad sebelumnya, Augstinus telah menyebut dosa privatio boni, yaitu, suatu pencabutan atau hilangnya kebaikan. Dosa bagaikan kebutuhan yang merampas pengelihatan orang yang sebelumnya bisa melihat. Dosa bukanlah sesuatu yang bersifat fisik melainkan bersifat etis. Dosa tidak tercipta bersama dengan penciptaan melainkan muncul setelah penciptaan. Dosa merupakan suatu pencatatan bentuk dari penciptaan. Menyebut dosa privatio boni mungkin bukan sebuah definisi yang sangat memuaskan, karena dosa lebih dari sekedar hilangnya kebaikan, tetapi juga merupakan pemberontakan yang aktif terhadap Allah. Meskipun demikian, definisi ini jelas mengandung kebenaran yang penting mengenai natur dosa. Mengapa dosa merupakan suatu pencatatan bentuk dari penciptaan, karena dosalah yang mengakibatkan manusia denagan Allah terpisah.

          Dosa selalu berkaitan dengan Allah dan kehendak-Nya. Banyak orang menyamakan dosa dengan ketidaksempurnaan, yaitu ketidaksempurnaan yang merupakan aspek yang normal dari natur manusia. “Tak seorangpun yang sempurna,” “setiap orang melakukan kesalahan,” “Kamu ‘kan hanya manusia,”  dan banyak pernyataan  senada menunjukkan pemikiran ini. Bertentangan dengan ini, ita harus menyatakan dengan tegas bahwa, sesuai Alkitab, dosa selalu merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah. Meskipun ada banyak hukum di dalam Alkitab, khususnya di kelima kitab pertama Perjanjian Lama, apa yang dimaksudkan dengan hukum di sini adalah sekelompok kecil perintah yang kita akui meringkaskan apa yang Allah inginkan dari manusia, yaitu Sepeuluh Perintah. Dosa merupakan hal yang bertentangan dengan Allah.

          Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah (1Yoh. 3:4).  Dalam Mazmur 51:6 menyatakan bahwa semua dosa, bahkan dosa terhadap sesama, juga merupakan dosa terhadap Allah. Daud telah begitu luar biasa berdosa terhadap Betsyeba dan Uria. Akan tetapi ketika ia akhirnya mengakui dosanya, ia berkata kepada Allah, “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku  berdosa dan melakukan apa yang kuanggap jahat.” Daud tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa ia tidak berdosa terhadap orang lain, tetapi di dalam kedalaman pertobatannya, ia tiba pada suatu keyakinannya bahwa semua dosa pada akhirnya merupakan dosa terhadap Allah. Jadi, secara mendasar, dosa merupakan perlawanan terhadap Allah, pemberontakan terhadap Allah yang berakar pada kebencian terhadap Allah. Ketika manusia berdosa langkah yang harus dilakukan adalah dengan mengakui dosa tersebut terhadap Allah.

          Agar bisa terpahami sepenuhnya, dosa harus dilihat bukan hanya dalam terang hukum tetapi juga dalam terang Injil. Injil adalah kabar baik tentang apa yang telah Kristus perbuat untuk menyelamatkan manusia dari dosa, ini merupakan hal yang niscaya justru karena kita telah melanggar hukum Allah. Injil tidak hanya menunjukkan kebusukan dosa kita tetapi Injil juga memproklamirkan cara kita dilepaska dari dosa, dan oleh karena itu menyuruh agar kita bertobat.  Dosa bersumber dalam apa yang Alkitab sebut sebagai “hati.” Augustinus sering berkata bahwa dosa bersumber dalam kehendak manusia, “jika kehendak itu sendiri bukanlah sebab pertama dosa, maka sama sekali tidak ada sebab pertama.”  Jadi, dengan memakai bahasa alkitabiah, Augstinus memilih untuk berkata bahwa dosa bersumber di dalam hati. Di sini memakai konsep hati sebagaimana dipakai di dalam Alkitab, untuk menunjuk inti batiniah dari satu pribadi yang disebut organ, untuk berfikir, merasa dan menghendaki, atau titik pusat dari semua fungsi kita. Dengan kata lain, dosa bukan bersumber di dalam tubuh atau di dalam salah satu kapasitas manusia yang mana pun melainkan bersumber di dalam pusat keberadaannya, yaitu hatinya.

          Dosa mencakup pikiran sekaligus tindakan.  Menurut hukum manusia, perbuatan salah hanya berkenan dengan apa yang seorang  lakukan atau tidak lakukan, bukan dengan apa yang seorang pikirkan, tidak seorangpun dipenjarakan karena pikiran yang keliru keculi pikiran itu telah diungkapkan. Yesus dengan jelas mengajarkan  bahwa sekalipun pikiran untuk berzinah belum diwujudkan, itu tetap merupakan dosa, “Tetapi Aku berkata kepadamu, setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:28). Tindakan baik tidak menutup kemungkinan untuk berbuat dosa, karena meskipun kita berlaku baik tetapi sering dibarengi dengan pikiran yang negativ.

            Dosa pada akarnay merupakan satu bentuk kesombongan. Kita dapat melihat dalam narasi kejatuhan: si ular menimbulkan kesombongan di dalam hati Hawa ketika ia berkata, “Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah” (Kej. 3:5). Kita juga melihat bahwa akar dari kejatuhan para malaikat adalah kesombongan. Dosa juga bararti menolak untuk mengakui keberuntungan total kita kepada Allah, dan keinginan untuk mandiri. Dengan kata lain, dosa pada dasarnya adalah kepentingan diri sendiri, menginginkan hal-hal menurut cara kita dan bukan cara Allah. Kesombongan sudah menjadi tabit manusia, tetap hal tersebut dapat diperbaiki.

            Dosa merupakan aspek yang pervasif di dalam hidup kita, tetapi kita sering untuk tidak menyadarinya. Dalam hal ini, terdapat tiga pengamatan penting:

1.      Dosa selalu dilakukan untuk “suatu alasan yang baik.”Hawa memakan buah terlarang karena ia berfikir hal ini merupakan cara untuk semakin menyerupai Allah.

2.      Kita sering gagal mengenali dosa kita sendiri. Kia melihat dosa orang lain begitu jelas, tetapi melihat dosa sendiri dengan samar-samar.

3.      Kita sering cenderung menutup-nutupi dosa kita. Kisah terkenal tentang Daud di hadpan Nabi Natan (2Sam. 12:1-15) mengilustrasika poin ini. Sebelum pengakuannya kepada Natan, raja yang bersalah ini menyembunyikan dosanya.

ISTILAH YANG DIPAKAI ALKITAB UNTUK DOSA

Perjanjian Lama menggunakan kata awon, yang berarti ketidakadilan atau kesalahan; pesha’, pemberontakan, pergolakan, menolak untuk tunduk kepada yang berwenang; abhar, pelanggaran (harfiah: “menyeberang”); resha’, kefasikan atau kelaliman; ra’, kejahatan atau kefasikan; ma’al, pelanggaran atau penghianatan; dan awen, pemberhalaan, ketidakadilan, atau kesiasiaan.

Di antara kata-kata Perjanjian Baru untuk dosa, yang paling umum adalah hamartia, yang merupakan padanan kata Yunani untuk kata Ibrani chatta’th,  dan yang juga bermakna “meleset dari sasaran” atau dalam bahasa Perjanjian Baru, “kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23). Istilah yang di pakai dalam Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama sama-sama mengandung makna yang menjurus pada hal yang tidak baik.

BERBAGAI JENIS DOSA

Satu kualifikasi kuno, yang bermula dari sejarah awal monastisime Kristen, mengacu pada apa yang disebut “tujuh dosa maut” (yang kadang disebut dosa-dosa utama). Ketujuh dosa ini dianggap sebagai akar bagi munculnya dosa-dosa lain. Secara tradisional, ketujuh dosa maut adalah: (1) kesombongan; (2) ketamakan; (3) nafsu, biasanya dipahami sebgai hasrat seksual yang tak terkendali atau terlarang; (4) iri hati; (5) kerakusan, yang biasanya mencakup kemabukan; (6) kemarahan; dan (7) kemalasan.

Cara-cara pengkualifikasian ini adalah: dosa-dosa terhadap Allah, sesama dan diri sendiri; dosa-dosa pikiran, ucapan atau perbuatan; dosa-dosa yang berakar di dalam “keinginan daging,” “keinginan mata,” atau “keangkuhan hidup” (1 Yoh. 2:16); dosa-dosa kelemahan, ketidaktahuan atau niat jahat; dosa-dosa karena tidak melakukan yang seharusnya atau melakukan yang tidak seharusnya; dosa-dosa tersembunyi atau dosa-dosa terbuka; dosa-dosa pribadi atau dosa-dosa umum. Dosa tetap dosa yang tidak bisa digolongkan besar atau kecil.

TINGKATAN-TINGKATAN DOSA

Pada bagian yang  pertama akan memerhatikan pembedaa Katolik Roma antara dosa yang mematikan (mortal sins) dan dosa ringan (venial sins). Pembedaan ini dibuat oleh Tertulianus Augustinus, dan kemudian dijabarkan oleh teolog Skolastik Lombard dan Aquinas. Pembedaan ini memainkan peran penting di dalam pemahaman Katolik Roma akan sakramen pertobatan mereka, yang tujuannya adalah untuk mengampuni dosa-dosa yang dibuat setelah baptisan.

Calvin menolak pembedaan atau dengan istilah tingkatan dosa, menurut Calvin semua dosa adalah mematikan, dalam pengertian bahwa semuannya layak meerima hukuman. Alkitab dengan jelas menolak pembedaan antara dosa yang mematikan dan yang ringan. Mengutip Ulangan 27:26. Paulus juga berkata, “semua orang, yang hidup dari pekerjaan hukum taurat, berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis dalam kitab hukum taurat” (Gal. 3:10). Jika demikain, bagaimana orang bisa berkata bahwa dosa-dosa tertentu, yaitu pelanggaran hukum Allah tertentu, tidak membawa orang tersebut kebawah kutuk ini? Yakobus mengingatkan kita bahwa, “barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari pada, ia bersalah terhadap seluruhnya” (Yak. 2:10). “Dosa ringan” bisa menjadi sandungan. Dosa tidak mempunyai tingkatan atau level, tetapi dosa tetaplah dosa, dan setiap dosa pasti ada konsekuensi yang harus diterima oleh orang yang bersangkuta.

DOSA YANG TAK TERAMPUNI

Meskipun segala bentuk dosa tidak diperkenankan Allah, Alkitab berbicara tentang satu dosa yang tak terampuni, bukan kerana dosa ini terlalu berat untuk diampuni Alla, melainkan karena natur dosa ini membuatnya tidak memiliki kemungkinan bagi pertobatan.

Pertama-tama melihat ayat utama Alkitab yang mendeskripsikan dosa ini. Mungkin yang sering dikutip adalah teks di Mrk. 3:28-30 (bdk. Mat. 12:31-32; Luk. 12:10). Matius memberi tahu kita bahwa di satu kesempatan, Yesus menyembuhkan seorang buta dan bisu di rasuki roh jahat. Ketika mendengar prihal mukjizat ini, orang-orang Farisi menyatakan bahwa Yesus memakai Beelzebul penghulu roh jahat, untuk mengusir roh-roh jahat. Saat menegur orang-orang Farisi ini, Yesusu berkata bahwa ia mengusir roh-roh jahat dengan Roh Allah, sebagai bukti bahwa kerajaan Allah telah datang kepada mereka (Mat. 12:22-28). Kemudian Yesus mengucapka kata-kata demikian:

            “Aku berkata kepadamu; sesungguhnya semua dosa dan hujat anak-anak manusia akan diampuni, ya, semua hujat yang mereka ucapkan. Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun selamanya, melainkan bersalah berbuat dosa kekal.” Ia berkata demikia karena mereka kaakan bahwa Ia kerasukan roh jahat (Mrk. 3:28-30)

Kamus Webster mendefinisikan hujat sebagai “tindakan menghina atau memandang rendah atau tidak memiliki rasa hormat kepada Allah.” Menurut ayat di atas, sejumlah hujatan bisa diampuni, tetapi menghujat Roh Kudus tidak pernah bisa diampuni.

Dosa ini digambarkan dengan istilah-istilah yang jelas. Orang yang melakukan ini sepenuhnya membenci Kristus (“menginjak-injak Anak Allah”), menganggap najis dan menola darah yang ditumpahkan Kristus untuk membaewanya lebih dekat kepada Allah, menghina dan meludahi Roh Kudus yang merupakan pembawa anugerah. Maka, kebanakan penafsir, termasuk Calvin, juga melihat kata-kata ini sebagai gambaran akan dosa yang tidak terampuni. Bukan dosa membunuh, berzinah, atau mencuri yang tidak diampuni, tetapi ada satu dosa yang tidak terampuni adalah dosa menghujat Roh Kudus, karena sama saja itu menghujat Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN SIAPA-SIAPA YUNUS 2:1-10